Sabtu, 25 April 2015

 Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme Jerman. Pendapat ini dibuktikan melalui perbandingan antara filosofis Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman. Keduanya mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan kenyataan merupakan konstruksi kesadaran Subjek. Dunia ini juga dipandang sebagai ide. Pandangan Schopenhauer ini pun dijadikan wakil dari Idealisme Jerman. Sekalipun memang ada hal-hal yang bersifat lebih khusus dan fundamental yang membedakan pemikiran Schopenhauer dengan Idealisme Jerman. Bagi Schopenhauer, dasar dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang buta. Kehendak ini buta, sebab, sebab desakannya untuk terus-menerus dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi. Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti penderitaan. Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transendental itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu sendiri merupakan penderitaan. Jalan keluar yang diusulkan Schopenhauer ini pun cukup logis. Kalau hidup ini adalah penderitaaan, maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai melalui penolakan kehendak untuk hidup. Konkretnya adalah lewat kematian raga dan bela rasa.

Cara pemikiran Schopenhauer ini menarik. Namun, tetap saja memiliki kesalahan. Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya atas pengetahuan tentang prinsip individuasi. Menurut Schopenhauer, berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati raga atau penyangkalan diri). Tanpa pengetahuan ini, manusia tidak akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.

Anggapan Schopenhauer ini menekankan dua hal, yaitu bahwa kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu ia juga mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini berarti bahwa manusia bukanlah makhluk egois sebagai mana yang dipikirkan oleh Schopenhauer. Namun, jika kesadaraan bisa menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah demikian kehendak untuk hidup itu sendiri bukan merupakan dasar dari segalanya?

Kamis, 09 April 2015

filsafat Aku Berpikir Maka Aku Ada

Nama    : Yosua Teguh Saputra
Nim       : 2014-71-087
Tugas    : Filsafat “Aku Bepikir Maka Aku Ada”

Karena Cinta Dan Kasih

Pernah saya mendengar orang tua berkata, karena cinta dan kasih sayang kamu ada dan karena cinta dan kasih sayanglah kamu bisa tumbuh.

Kata yang dibuat Rene Descrates Aku berpikir maka aku ada, kalimat ini terdengar sederhana namun sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam dikarenakan berfikir itu identitas hakiki manusia, hanya dengan berfikir manusia bisa dibedakan dengan mahkluk-mahkluk lainnya. Namun hanya berfikir saja tanpa cinta dan kasih, dunia akan sangat hampa, takan seindah yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan juga,  cinta dan kasih adalah pelembut, pendamai dan pelengkap disaat kita berpikir, karena hakekat cinta dan kasih adalah kesadaran yang dimiliki manusia didunia ini.
Jadi Hubungan pikiran kita adalah hakekat cinta dan kasih yang sudah ditanamkan dalam diri manusia, persoalan estetika pada kehidupan manusia dan apa sih yang kita ingin cari tahu manusia di dunia ini adalah suatu pengalaman yang sering kali tidak dapat dialami sepenuhnya dalam hidup yaitu perasaan aman, perasaan diakui dan diterima, serta perasaan bahwa aku adalah bagian dari sesuatu. Jadi kita tidak mungkin hidup dengan fikiran saja, namun kita membutuhkan cinta untuk melengkapinya agar hidup ini tidak dangkal, tidak kering dan tidak jahat. Cinta akan selalu memberi makna hidup, cinta akan selalu menumbuhkan, cinta akan memberi nilai suatu perjuangan, dengan cinta pula kita hidup hingga saat ini.

Sama halnya seperti, seorang bayi mengalami perasaan cinta dan kasih, ketika ia mendapatkan perlindungan dari orang tuanya. Akan tetapi, perasaan ini semakin tercabik, karena kegagalan orang tua memberikan rasa cinta dan kasih kepada anaknya. Perasaan ini akan lenyap, ketika seseorang menjadi lebih tua dan independen, di mana seringkali perasaan terisolasi muncul. Seiring semakin dewasanya seseorang, biasanya cara berfikirnya bergeser ke arah rasional-pragmatis, dengan mengesampingkan cinta dari lubuk jiwanya yang dalam.

Jadi tidak hanya sekedar berpikir saja kita bisa dianggap ada, tetapi juga hati, perasaan cinta dan kasih kepedulian terhadap sesama, itu juga akan bisa membuat kita termotivasi untuk berpikir dengan baik.